Halo! Nama saya Zia. Kalau di madrasah, anak-anak biasa panggil saya Bu Zia. Saya mengajar Bahasa Inggris di salah satu Madrasah Aliyah swasta di pinggiran kota. Bayangkan, saya sudah jadi guru di sana sejak tahun 2013. Artinya, sudah lebih dari sepuluh tahun saya bolak-balik antara materi Simple Present Tense hingga Complex Sentence Structure di hadapan para siswa.
Mungkin banyak orang berpikir, “Ngapain Bahasa Inggris di madrasah? Bukannya fokusnya ke Fiqih dan Hadits?” Nah, di situlah letak tantangannya, sekaligus keajaiban dari perjalanan saya mengajar. Mengajar Bahasa Inggris di lingkungan yang sangat kental dengan nilai-nilai agama itu bukan sekadar mengajar tata bahasa atau menghafal kosa kata. Itu adalah proses menyeimbangkan dua dunia: dunia keislaman yang dalam dan dunia global yang serba cepat, khususnya bagi siswa yang sebentar lagi akan lulus dan menentukan masa depan.
2013-2016: Masa Adaptasi dan “Skeptisisme Akademik”
Ketika pertama kali masuk tahun 2013, saya masih fresh graduate. Semangatnya tinggi, tapi bekalnya masih minim. Saya membawa metode-metode mengajar Bahasa Inggris yang saya pelajari di kampus—yang banyak sekali menggunakan referensi budaya Barat, seperti lagu-lagu pop, film Hollywood, atau cerita-cerita dari buku teks impor. Hasilnya? Gagal total, dengan sentuhan skeptisisme yang khas anak SMA.
Siswa Madrasah Aliyah lebih kritis dan realistis. Mereka bukan lagi anak SMP yang malu-malu, tapi anak-anak yang punya tujuan masa depan. Saya ingat saat menjelaskan materi dengan contoh-contoh Barat, mereka justru bertanya, “Bu, buat apa Future Tense kalau nanti kuliahnya Tafsir Hadits atau Ekonomi Syariah?” Fokus mereka kuat ke Bahasa Arab, kitab kuning, dan persiapan ujian masuk perguruan tinggi berbasis keagamaan. Bahasa Inggris dianggap sebagai beban, bukan alat.
Tantangannya adalah meyakinkan mereka bahwa Bahasa Inggris itu adalah alat untuk mengakses referensi Islam global dan bukan sekadar pelajaran tambahan. Saya sadar, saya harus beradaptasi total. Saya tidak bisa memperlakukan madrasah ini seperti sekolah umum biasa. Para siswa di sini punya identitas yang kuat, dan materi harus nyambung dengan identitas itu. Akhirnya, saya mulai memutar otak. Saya mengganti semua contoh kalimat yang ‘terlalu pop’ dengan yang lebih kontekstual dan akademis. Contohnya:
- Sebelumnya:“Justin Bieber is singing a new song.” (Justin Bieber sedang menyanyikan lagu baru).
- Setelahnya:“The Ulama is delivering a speech about the ethics of Sharia Finance.” (Ulama sedang menyampaikan pidato tentang etika Keuangan Syariah).
Saya mulai mengajarkan kosa kata dan struktur kalimat yang berhubungan dengan kehidupan akademis dan keagamaan, seperti argumentative essay (esai argumentatif), research methodology (metodologi penelitian), religious tolerance (toleransi beragama), dan sustainable development (pembangunan berkelanjutan) dalam perspektif Islam. Pendekatan ini langsung mengubah suasana kelas. Siswa menjadi lebih terbuka karena mereka merasa Bahasa Inggris bukan lagi bahasa asing yang “asing”, tapi alat yang bisa mereka gunakan untuk membicarakan dunia akademik mereka sendiri.
2017-2020: Era Digitalisasi Tipis-Tipis dan Akademik Global
Memasuki tahun 2017, sedikit demi sedikit, madrasah kami mulai tersentuh teknologi. Kami punya satu proyektor usang yang bisa dipakai bergantian. Ini adalah titik balik. Walaupun gajinya masih honorer, saya jadi bisa lebih kreatif. Saya tidak lagi hanya fokus pada Bahasa Inggris dasar. Saya pindah fokus ke English for Academic Purposes (EAP). Saya bilang ke anak-anak, “Kalian bukan lagi belajar Bahasa Inggris untuk liburan. Kalian belajar Bahasa Inggris untuk kuliah dan karier. Kalian harus bisa menulis esai akademik, membaca jurnal, dan berdebat secara ilmiah.”
Kami mulai latihan membaca abstrak jurnal internasional (tentu yang relevan dengan Islam, sains, dan isu sosial), menganalisis berita berbahasa Inggris dari Timur Tengah atau negara-negara Muslim lainnya, dan mempresentasikan hasil penelitian mini mereka. Misalnya, mereka membuat presentasi tentang Challenges and Opportunities in Zakat Management atau The Role of Halal Tourism in Local Economy. Topiknya berat, tapi disampaikan dengan semangat yang tinggi karena mereka merasa sedang mempersiapkan diri untuk menjadi intelektual muda.
Tantangannya di periode ini adalah keterbatasan fasilitas. Internet di sekolah sering putus-putus, dan kami harus berebutan proyektor. Saya sering harus pakai uang pribadi untuk fotocopy materi berwarna atau membeli spidol whiteboard yang bagus. Saya mulai menggunakan aplikasi kamus digital sederhana di HP saya untuk membantu mereka. Di sinilah saya belajar bahwa menjadi guru yang baik berarti menjadi guru yang fleksibel dan inovatif dengan sumber daya yang minim, tanpa mengurangi kedalaman materi.
2020-2022: Badai Pandemi dan Ancaman Masa Depan
Saat pandemi COVID-19 melanda di tahun 2020, seluruh dunia pendidikan terguncang, termasuk madrasah swasta kami. Pembelajaran daring menjadi tantangan paling besar sepanjang karier saya, terutama karena siswa MA adalah kelompok yang paling tertekan. Bayangkan, tugas beratnya adalah menyiapkan mereka untuk ujian akhir madrasah dan tes masuk perguruan tinggi (UTBK/SBMPTN). Materi Reading Comprehension dan Structure untuk MA itu kompleks dan memerlukan fokus tinggi. Melakukannya via video call yang sering putus-putus sungguh menyiksa. Mayoritas siswa saya berasal dari keluarga sederhana di desa dengan akses internet yang sangat terbatas, bahkan ada yang harus mencari sinyal di puncak bukit.
Masalahnya bukan hanya sinyal, tapi juga motivasi. Banyak siswa yang mulai apatis terhadap masa depan karena kondisi ekonomi yang sulit. Esensi Bahasa Inggris, yang seharusnya menjadi alat komunikasi, terasa hilang di balik layar gawai. Saya harus mencari cara agar mereka tetap terhubung dan tidak kehilangan harapan. Saya beralih ke tugas-tugas asynchronous (tidak serentak) yang lebih fokus pada pengembangan diri. Saya meminta mereka merekam podcast singkat tentang refleksi mereka terhadap pandemi dalam Bahasa Inggris, atau melakukan critical reading terhadap artikel-artikel motivasi.
Periode ini mengajarkan saya tentang empati dan prioritas. Saya belajar untuk tidak menuntut kesempurnaan. Tugas yang penting bukan lagi soal nilai A atau B, tapi memastikan mereka baik-baik saja dan tetap punya alasan untuk membuka buku dan mengejar impian kuliah mereka. Di tengah ketidakpastian, Bahasa Inggris harusnya jadi pelipur lara, bukan beban baru.
2023 Sampai Sekarang: Keseimbangan, Karier, dan Kontribusi Global
Setelah pandemi berakhir, suasana kembali normal, tapi ada yang berbeda. Anak-anak MA yang kembali sudah lebih matang dan berorientasi pada karier. Mereka sudah terekspos YouTube, TikTok, dan game online dari berbagai negara—semuanya disajikan dalam Bahasa Inggris. Tiba-tiba, mata pelajaran yang saya ajar menjadi sangat relevan dan keren di mata mereka karena mereka sudah melihat prospek kerjanya. Mereka tahu bahwa Bahasa Inggris adalah kunci untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri atau diterima di perusahaan multinasional yang berbasis syariah. Peran saya saat ini bergeser menjadi Career and Global Facilitator. Saya fokus pada aplikasi praktis Bahasa Inggris di dunia kerja dan dakwah. Saat ini, saya fokus pada:
- Keterampilan Profesional:Mengajarkan CV writing, interview practice (simulasi wawancara kerja), dan simulasi job application untuk posisi yang memerlukan kemampuan bahasa asing (misalnya, penerjemah kitab, atau tour guide wisata halal).
- Jembatan Budaya dan Dakwah:Menggunakan Bahasa Inggris untuk memperkenalkan keindahan Islam kepada teman-teman mereka di luar madrasah (melalui proyek video singkat tentang budaya Islam Indonesia) atau bahkan sekadar berinteraksi dengan turis asing di kota terdekat.
- Penggunaan Teknologi yang Bijak:Mendorong mereka memanfaatkan aplikasi belajar modern, tapi tetap membatasi waktu layar dan mengajarkan etika digital, sambil menggunakan AI tools secara etis untuk meningkatkan kemampuan menulis mereka.
Meskipun status saya sebagai guru honorer belum berubah, dan tantangan gaji kecil masih sering membuat saya harus mencari side job (kadang jadi penerjemah lepas online), kepuasan batin yang saya dapatkan di madrasah ini tidak ternilai harganya. Saya melihat siswa-siswa yang dulu skeptis kini berani menyapa saya dengan “Good morning, Bu! How are you today?” bahkan di luar jam pelajaran, menunjukkan kepercayaan diri yang luar biasa.
Mereka bukan hanya belajar Bahasa Inggris. Mereka belajar bahwa menjadi Muslim yang taat dan memegang teguh identitas tidak berarti harus menutup diri dari dunia. Justru sebaliknya, Bahasa Inggris membuka pintu bagi mereka untuk berpartisipasi dan berkontribusi di panggung global, membawa message Islam yang penuh kedamaian dan kecerdasan akademis.
Penutup: Belajar, Tumbuh, dan Bersyukur
Mengajar sejak 2013 adalah sebuah maraton, bukan lari sprint. Ada masa lelah, masa kecewa, tapi selalu ada momen kebahagiaan kecil yang membuat saya bertahan. Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa pendidikan yang paling efektif adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Ia harus relevan dengan kebutuhan masa depan mereka, menghargai identitas keagamaan mereka, dan membuka jendela, bukan tembok.
Saya merasa bersyukur. Lebih dari sekadar mengajarkan grammar dan tenses, saya merasa telah menjadi bagian dari proses pembentukan global citizen yang saleh—anak-anak madrasah aliyah yang siap berkomunikasi, berdebat, dan membawa kontribusi mereka ke dunia. Dan, sungguh, tidak ada profesi lain yang bisa memberikan rasa puas seperti itu.
Terima kasih sudah membaca kisah sederhana ini. Perjalanan saya masih panjang, dan saya siap untuk babak selanjutnya. Siapa tahu, tahun depan sudah ada motor baru, biar tidak repot dorong gerobak nasi goreng lagi!