
Pada tahun 90-an, di gang sempit di kota kecil yang sepi, berdiri sebuah rumah tua dengan dinding yang sudah mulai retak. Di dalam rumah itulah tinggal seorang pria tua bernama Wibowo. Setiap pagi, ia duduk di beranda rumahnya, mengenakan kemeja putih lusuh yang kehilangan beberapa kancing di bagian depannya. Kemeja itu adalah satu-satunya peninggalan masa lalunya yang masih ia simpan. Meskipun sudah usang dan tidak lagi sempurna, Wibowo selalu memakainya setiap hari, seolah kemeja itu memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar selembar kain.
Wibowo adalah seorang eks tahanan politik tahun 1965, atau yang biasa disebut sebagai eks tapol. Di masa mudanya, ia pernah terlibat dalam gerakan yang dianggap berbahaya oleh rezim yang berkuasa saat itu. Karena keyakinan dan idealismenya, ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara, kehilangan kebebasannya selama bertahun-tahun. Ketika akhirnya ia dibebaskan, dunia yang ia kenal sudah berubah. Ia kembali ke masyarakat, tapi tidak pernah benar-benar diterima kembali. Seperti kemejanya yang kehilangan kancing, hidupnya juga terasa tidak utuh lagi.
Setiap hari, Wibowo berjuang untuk bertahan hidup. Ia bekerja serabutan, melakukan pekerjaan apa saja yang bisa ia dapatkan. Namun, stigmatisasi sebagai eks tapol selalu menghantui langkahnya. Orang-orang di sekitarnya selalu melihatnya dengan tatapan curiga, seolah masa lalunya adalah dosa yang tidak pernah bisa dimaafkan. Meski begitu, Wibowo tidak pernah mengeluh. Ia terus menjalani hidupnya dengan tenang, menerima nasibnya dengan lapang dada.
Hingga suatu ketika seorang pria muda bernama Bram, yang tinggal di rumah seberang, mulai memperhatikan Wibowo. Bram adalah seorang penulis yang sedang mencari inspirasi untuk novel barunya. Setiap pagi, ia melihat Wibowo duduk di beranda dengan kemeja lusuhnya, memandang ke kejauhan dengan tatapan yang dalam. Ada sesuatu tentang pria tua itu yang menarik perhatian Bram, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang kehidupan dan masa lalunya.
Bram mulai mendekati Wibowo dengan perlahan. Awalnya, Wibowo tampak ragu untuk berbicara dengan orang asing, terutama dengan seorang anak muda seperti Bram. Namun, ketekunan dan rasa hormat yang ditunjukkan Bram membuat Wibowo akhirnya membuka diri. Perlahan-lahan, ia mulai menceritakan kisah hidupnya, tentang masa lalunya sebagai tahanan politik, tentang mimpi-mimpi yang hancur, dan tentang bagaimana ia harus berjuang untuk bertahan hidup setelah dibebaskan.
Wibowo juga bercerita tentang kemeja yang selalu ia kenakan. Kemeja itu dulunya adalah milik sahabatnya, seorang sesama tahanan politik yang meninggal di penjara. Sebelum meninggal, sahabatnya memberikan kemeja itu kepada Wibowo, berpesan agar ia selalu ingat akan perjuangan mereka. Namun, setelah bertahun-tahun, kemeja itu mulai kehilangan kancingnya satu per satu. Bagi Wibowo, setiap kancing yang hilang adalah simbol dari bagian hidupnya yang juga hilang—sahabat-sahabatnya, keluarganya, kebebasannya, dan harga dirinya.
Bram mendengarkan cerita Wibowo dengan penuh perhatian. Ia merasa terharu dan sekaligus terinspirasi oleh ketabahan pria tua itu. Bagi Bram, Wibowo bukan sekadar pria tua yang hidup di ujung senja, tapi seorang pejuang yang terus berjuang meskipun dunia telah mengabaikannya. Kisah Wibowo membuat Bram menyadari betapa kejamnya dunia ini terhadap orang-orang seperti Wibowo, yang dipaksa untuk hidup dengan bekas luka yang tak pernah bisa sembuh.
Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Bram dan Wibowo semakin dekat. Bram sering mengunjungi Wibowo, membawakan makanan, dan mendengarkan cerita-ceritanya. Wibowo pun mulai menganggap Bram sebagai teman, sesuatu yang sangat langka baginya. Bram tidak hanya mendengarkan, tapi juga mencoba membantu Wibowo dengan cara-cara kecil, seperti mencarikan pekerjaan atau memperbaiki rumahnya yang sudah mulai lapuk.
Namun, stigma sebagai eks tapol tetap melekat pada Wibowo. Ketika Bram mencoba mencarikan pekerjaan yang lebih layak untuk Wibowo, ia sering kali menemui penolakan. Orang-orang yang tahu latar belakang Wibowo enggan memberikan kesempatan kepadanya. Mereka takut dianggap mendukung mantan tahanan politik, sesuatu yang masih dianggap tabu meski bertahun-tahun telah berlalu sejak rezim yang menahan Wibowo jatuh.
Suatu hari, Bram memutuskan untuk menulis cerita tentang Wibowo. Ia ingin dunia tahu tentang kehidupan seorang eks tapol, tentang perjuangan mereka yang tak pernah berakhir, dan tentang bagaimana masyarakat masih memandang mereka dengan tatapan yang penuh prasangka. Bram menulis dengan penuh semangat, menceritakan setiap detail kehidupan Wibowo, setiap kesedihan, dan setiap harapan yang masih tersisa di hati pria tua itu.
Namun, ketika cerita itu dipublikasikan, tidak semua orang menyambutnya dengan hangat. Beberapa orang marah, menuduh Bram mencoba menghidupkan kembali luka lama yang seharusnya dibiarkan sembuh. Bram menerima kritik dengan tenang, tapi di dalam hatinya, ia merasa kecewa. Ia hanya ingin dunia melihat Wibowo sebagai seorang manusia, bukan sebagai seorang tahanan politik yang harus dijauhi.
Wibowo sendiri merasa terharu ketika Bram memberitahunya bahwa cerita tentang hidupnya telah dipublikasikan. Namun, ia juga merasa khawatir. Ia tahu bahwa publikasi cerita itu bisa membuat hidupnya semakin sulit. Namun, Wibowo tetap menghargai niat baik Bram dan tidak ingin membuat anak muda itu merasa bersalah.
Waktu terus berlalu, dan kondisi kesehatan Wibowo semakin menurun. Tubuh tuanya mulai lemah, dan ia sering jatuh sakit. Bram tetap setia menemani Wibowo, meskipun ia tahu bahwa waktu yang tersisa tidak banyak. Suatu hari, ketika Bram mengunjungi Wibowo, ia menemukan pria tua itu terbaring lemah di ranjang, mengenakan kemeja putih lusuhnya yang kehilangan hampir semua kancingnya.
Dengan suara yang lemah, Wibowo berbicara kepada Bram. Ia berterima kasih kepada Bram karena telah menjadi teman dan pendengar yang baik. Ia juga berpesan agar Bram terus menulis dan memperjuangkan keadilan bagi mereka yang suaranya tak pernah didengar. “Kemeja ini… mungkin tidak akan pernah utuh lagi,” kata Wibowo dengan napas tersengal-sengal. “Tapi bukan berarti kita harus berhenti memperjuangkan hidup kita.”
Malam itu, Wibowo menghembuskan napas terakhirnya. Bram merasa kehilangan yang mendalam, tapi ia juga merasa terhormat karena telah menjadi bagian dari hidup Wibowo. Keesokan harinya, Bram mengenakan kemeja putih Wibowo yang telah kehilangan kancingnya dan mengantarkan jenazah pria tua itu ke pemakaman. Kemeja itu mungkin sudah usang dan tidak utuh, tapi bagi Bram, kemeja itu adalah simbol dari kehidupan seorang pejuang yang tak pernah menyerah, meskipun dunia telah meninggalkannya.
Bram memutuskan untuk melanjutkan perjuangan Wibowo. Ia menulis lebih banyak cerita tentang orang-orang seperti Wibowo, tentang mereka yang hidup dalam bayang-bayang masa lalu, dan tentang bagaimana dunia sering kali melupakan mereka. Bram bertekad untuk menjadi suara bagi mereka yang suaranya tak pernah didengar, untuk menjaga agar cerita-cerita mereka tetap hidup, meskipun dunia mungkin tidak lagi peduli.
Dalam salah satu tulisannya, Bram menggambarkan Wibowo sebagai “kemeja tanpa kancing”—sebuah perumpamaan tentang kehidupan yang tak pernah utuh, tentang kehilangan yang terus terjadi, tapi juga tentang kekuatan untuk terus bertahan meskipun dalam ketidaksempurnaan. Tulisan itu menjadi salah satu yang paling dibaca dan dihargai, membawa kisah Wibowo ke hati banyak orang yang sebelumnya tak pernah mengenalinya.
Meskipun Wibowo telah tiada, kisah hidupnya terus hidup melalui tulisan Bram. Kemeja tanpa kancing itu menjadi simbol dari perjuangan yang tak pernah berakhir, dari harapan yang tetap ada meskipun dalam ketidaksempurnaan. Dan bagi Bram, kenangan tentang Wibowo akan selalu menjadi sumber inspirasi, mengingatkannya bahwa dalam setiap kehilangan, selalu ada kekuatan untuk terus maju, untuk memperjuangkan hidup, dan untuk menjaga agar cahaya harapan tetap menyala.
Beberapa bulan setelah kematian Wibowo, Bram semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Ia menulis dengan tekad yang kuat, berusaha keras mengabadikan kisah-kisah eks tapol lainnya. Namun, semakin dalam ia menggali, semakin berat beban yang ia rasakan. Setiap cerita yang ia dengar membawa kesedihan dan rasa ketidakadilan yang mendalam. Bram mulai merasa tersiksa oleh kenyataan pahit bahwa perjuangan mereka yang pernah teraniaya tak mendapat tempat di dunia yang kini lebih tertarik pada hal-hal yang ringan dan menghibur.
Buku yang ia tulis tentang Wibowo berhasil menarik perhatian, tetapi tidak dengan cara yang ia harapkan. Alih-alih menjadi alat untuk menyebarkan kesadaran dan simpati, buku itu justru menjadi bahan perdebatan yang sengit. Sebagian besar kritik datang dari mereka yang masih memegang teguh narasi resmi pemerintah lama, menuduh Bram memutarbalikkan sejarah dan memanfaatkan penderitaan orang lain untuk mendapatkan ketenaran.
Kritikan ini tidak hanya datang dari luar, tapi juga dari beberapa orang yang pernah Bram anggap sebagai teman dan kolega. Mereka mulai menjauh darinya, takut terkena dampak dari kontroversi yang berkembang. Tekanan mental ini membuat Bram semakin terisolasi. Ia mulai meragukan keputusannya untuk menulis tentang Wibowo dan eks tapol lainnya, dan perlahan-lahan, idealisme yang dulu ia pegang erat mulai terkikis.
Sementara itu, pameran yang ia rencanakan untuk mengenang Wibowo dan perjuangan eks tapol lainnya gagal terlaksana. Pihak museum yang awalnya tertarik tiba-tiba menarik diri setelah mendapat tekanan dari pihak-pihak tertentu. Bram mendapati dirinya ditinggalkan sendirian, menghadapi tembok-tembok penolakan yang tak pernah ia duga.
Dalam kesendiriannya, Bram mulai merasa beban dari semua perjuangan ini terlalu berat untuk ditanggung seorang diri. Ia terus menulis, namun sekarang, setiap kata yang ia tuliskan terasa hambar dan penuh keraguan. Ia tidak lagi yakin bahwa tulisannya dapat membawa perubahan yang ia impikan. Setiap cerita yang ia dengar, setiap penderitaan yang ia catat, semakin memperdalam luka di hatinya.
Pada suatu malam yang gelap, Bram duduk sendirian di depan meja kerjanya. Di hadapannya tergeletak kemeja tanpa kancing milik Wibowo, yang dulu ia kenakan saat mengantar jenazah pria tua itu ke pemakaman. Kemeja itu kini terlihat lebih lusuh dan kusut, seolah-olah mewakili perasaan Bram yang semakin hancur. Dengan tangan gemetar, Bram mengambil kemeja itu dan memandangi sisa kancing yang masih terpasang. Satu per satu, kancing itu ia cabut, hingga kemeja itu benar-benar tanpa kancing sama sekali.
Air mata mulai mengalir di pipinya saat ia menyadari bahwa perjuangannya, seperti kemeja itu, telah kehilangan seluruh pegangannya. Idealisme yang dulu ia jaga dengan teguh kini hancur berkeping-keping. Bram merasa bahwa ia telah gagal, tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga pada Wibowo dan semua orang yang kisahnya pernah ia tulis.
Dengan putus asa, Bram menulis catatan terakhir di buku hariannya. Ia menuliskan betapa ia merasa terjebak dalam kegelapan, tidak lagi mampu melihat cahaya harapan yang pernah begitu jelas baginya. “Kemeja ini,” tulisnya, “adalah lambang dari kehidupan yang telah hancur, bukan hanya milik Wibowo, tapi juga milikku. Mungkin benar bahwa hidup kita tak pernah utuh, dan pada akhirnya, kita semua hanya sehelai kain usang tanpa kancing yang terabaikan oleh waktu.”
Pagi berikutnya, Bram ditemukan tak bernyawa di apartemennya. Kemeja tanpa kancing itu tergantung lemah di kursi di sebelahnya. Dunia mungkin tak lagi peduli, tapi bagi mereka yang pernah mengenalnya, Bram akan selalu diingat sebagai seseorang yang mencoba melawan arus, meskipun pada akhirnya ia tenggelam dalam arus itu sendiri.
Berita kematiannya menyebar, namun hanya sedikit yang benar-benar meratapi kepergiannya. Tulisan-tulisannya tentang Wibowo dan eks tapol lainnya perlahan dilupakan, terkubur oleh hiruk-pikuk dunia yang bergerak terlalu cepat untuk mengingat luka-luka lama. Kemeja tanpa kancing itu, yang pernah menjadi simbol perjuangan dan harapan, kini hanya menjadi kenangan samar dari seorang pria yang berjuang, gagal, dan akhirnya dilupakan.
Dan begitu, dunia terus berputar, melupakan mereka yang pernah mencoba memberi makna pada hidup yang telah kehilangan semua kancingnya.