Ruang kelas XII IPA 1 pagi itu masih dipenuhi aroma papan tulis yang baru dibersihkan. Di luar, matahari bersinar terang, tapi di dalam, mata para siswa justru redup, separuh karena kantuk, separuh lagi karena tahu apa yang akan mereka hadapi hari ini: Fisika.
Tiba-tiba, pintu terbuka dengan suara khas—cepat, keras, dan dramatis. Seperti efek suara dalam film superhero yang sedikit kehabisan anggaran. “Selamat pagi, pasukan ilmiah dan pemimpi kelas menengah!” seru Pak Rino, guru Fisika yang lebih sering disebut sebagai stand-up comedian tersesat di dunia pendidikan.
Ia berjalan ke meja guru dengan langkah seperti sedang melakukan parade kecil, membawa dua benda di tangan: sebuah bola karet dan sebuah batu bata mainan. “Kita hari ini akan membahas dua hal penting,” ujarnya sambil meletakkan benda-benda itu di meja. “Satu, tentang usaha. Dua, tentang Hukum Newton. Dan tiga—ini bonus—tentang bagaimana cara kalian tetap bertahan hidup di dunia yang penuh gaya.”
Beberapa siswa tertawa pelan. Yang lain mulai membuka buku, setengah yakin ini akan jadi pelajaran yang tidak biasa. “Baik, siapa yang bisa kasih saya definisi ‘usaha’ dalam Fisika?” tanya Pak Rino sambil menatap ke arah siswa seperti juri audisi mencari suara emas.
Maya, yang duduk di baris kedua, mengangkat tangan. “Usaha adalah hasil kali gaya dan perpindahan, Pak.” Pak Rino menatapnya dramatis. “Luar biasa! Definisi paling sah menurut kitab suci Fisika. Tapi… bagaimana dengan usaha kamu buat paham materi ini? Ada perpindahannya nggak?”Kelas tertawa. Maya ikut tersenyum.
“Coba bayangkan ini,” kata Pak Rino, mengangkat batu bata mainan. “Kalau saya dorong benda ini di atas meja sejauh dua meter dan saya keluarkan gaya satu Newton, berarti saya melakukan usaha dua joule. Tapi kalau saya dorong tembok, sepanjang hidup saya, dan temboknya nggak pindah juga.”
“Berarti usahanya nol, Pak!” celetuk Doni. “Betul!” seru Pak Rino, menunjuk Doni seolah sedang memenangkan undian. “Lihat? Ini menjelaskan banyak hal dalam hidup. Kalau kamu sudah usaha, tapi tidak ada perpindahan, coba cek dulu. Kamu dorong tembok atau kamu dorong peluang?” Suara tawa kembali meledak. Beberapa siswa mulai mencatat, tapi tak sedikit yang justru mencatat kutipan lucu Pak Rino, bukan rumus.
“Sekarang, kita masuk ketiga Hukum Newton,” lanjutnya. Ia menulis di papan:
- Benda akan tetap diam atau bergerak lurus beraturan jika tidak ada gaya yang bekerja padanya.
- Gaya = massa × percepatan.
- Aksi = reaksi.
“Siapa yang bisa kasih contoh hukum pertama dalam kehidupan sehari-hari?” tanya Pak Rino, menatap murid-muridnya. Aisyah mengangkat tangan dan menjawab, “Kalau kita duduk diam dan nggak diganggu siapa-siapa, kita bisa duduk diam terus, Pak.”
“Benar sekali. Itulah kenapa banyak dari kalian tetap diam selama pelajaran, karena tidak ada gaya dari dalam maupun luar yang mendorong kalian untuk aktif,” ujarnya sambil mengedipkan mata. “Pak, kalau saya malas gerak, itu hukum Newton juga?” tanya Rafi dari barisan belakang. “Itu namanya inersia sosial, Raf. Versi spesial dari hukum pertama Newton yang terjadi ketika gravitasi dari kasur atau rasa bosan mengalahkan gaya belajar,” jawab Pak Rino, disambut tawa yang makin lepas.
Ia melanjutkan penjelasan dengan gaya teatrikal, menjelaskan bahwa gaya tak selalu harus besar untuk mengubah sesuatu. Bahwa Hukum Newton kedua tak hanya berlaku di soal ujian, tapi juga ketika kita merasa stuck dalam hidup, dan perlu sedikit percepatan.
“Kamu ingin berubah? Tinggal cari gaya yang tepat dan arah yang benar. Nggak usah berat-berat. Sedikit gaya, kalau konsisten, bisa bikin kamu berpindah dari diam jadi bergerak.” Maya yang dari tadi memperhatikan dengan saksama, mengangkat tangan. “Pak, berarti… kalau kita terus belajar, walaupun pelan, itu juga termasuk usaha dan percepatan?” Sambil menunjuk Maya, Pak Rino berseru, “Exactly! Kita sering lupa bahwa dalam Fisika, tidak harus cepat, yang penting ada perubahan. Itu yang disebut usaha. Dan usaha selalu ada hasil, meski kadang tak langsung terlihat.”
Lalu ia mengangkat bola karet dan menjatuhkannya ke lantai. Bola itu memantul, lalu jatuh lagi. “Ini contoh gaya reaksi,” katanya. “Kamu dorong dunia, dunia dorong balik. Tapi bukan untuk menjatuhkanmu. Kadang, itu cuma pantulan. Jadi jangan takut mencoba.”
Ketika bel tanda istirahat berbunyi, kelas tetap tinggal. Tak ada yang buru-buru keluar. Biasanya, jam Fisika adalah jam paling ‘berat’, tapi hari ini, justru jadi jam paling ringan. Pak Rino berkemas sambil berucap, “Ingat anak-anak, dalam hidup ini, kita nggak bisa lepas dari Hukum Newton. Mau kamu bergerak atau diam, mau kamu usaha atau menyerah, selalu ada gaya yang bekerja. Tugas kalian? Pilih gaya yang bikin kamu maju.”
Lalu ia melangkah ke luar kelas, dengan gaya sedikit membungkuk seperti ilmuwan jenius yang sedang menyelamatkan dunia. Sementara itu, di dalam kelas, Maya mencatat di buku tulisnya:
“Usaha bukan hanya tentang angka. Tapi tentang bergerak. Meski pelan. Karena yang penting bukan seberapa jauh kamu sudah berjalan, tapi bahwa kamu tidak lagi diam.”
Dan untuk pertama kalinya, pelajaran Fisika terasa seperti dorongan kecil yang menyenangkan. Sebuah gaya baru untuk memahami dunia.