Berangkat dari pengalaman berbincang dan mendengarkan cerita dari beberapa siswa, penulis berasumsi bahwa masih sedikit anak yang nyaman bercerita dengan orang tuanya. Bahkan cenderung takut untuk bercerita, berkeluh kesah, atau sekedar berbincang santai dengan orang tua. Alasannya banyak faktor, tentu saja. Berdasarkan data dari mendengarkan cerita beberapa siswa yang jarang berbincang dengan orang tuanya, faktor terbesar adalah ketika anak ingin bercerita ke orang tua atau melapor sebuah kejadian, orang tua tidak mau mendengarkan, orang tua langsung memberi judge yang menurutnya benar tanpa mendengarkan dulu dan menganalisis permasalahanya. Hal tersebut berpengaruh pada sikap anak, mengakibatkan kurang terbuka untuk bicara; bahkan sulit untuk bercerita karena di rumah, ia tidak terbiasa bercerita pada orang tua atau keluarganya.
Faktor kedua adalah perbedaan generasi, yang menjadikan orang dewasa dengan anak terkesan berjarak. Perbedaan generasi tidak hanya berkaitan dengan jarak usia yang jauh namun juga berkait cara berkomunikasi, gaya bahasa, hingga ketertarikan cara belanja. Meski demikian, hal tersebut tidak lantas membuat kita—orang dewasa—kesulitan untuk menyesuaikan selera dengan generasi anak kita. Bukan pula kita tidak bisa mengajarkan hal positif pada mereka. Mencoba memahami karakter, kemudian kita ikuti cara komunikasi mereka dengan tetap kita tanamkan adab dan ahlak pada mereka, bisa menjadi sebuah langkah awal.
“Didiklah anak-anakmu, sebab mereka akan mengalami zaman yang berbeda dengan zamanmu” (Ali Bin Abi Tholib)
Sebagai orang tua, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman sesuai zaman anak tentu merupakan keniscayaan. Meski seringkali membandingkan zaman kita saat kecil dengan zaman sekarang merupakan hal yang tidak bisa dielakkan, yang pasti, beda generasi, beda karakter. Menjadi orang tua adalah amanah besar dari Tuhan, karunia atau anugerah yang dititipkan kepada kita harus kita jaga kita rawat dengan sebaik-baiknya. Seiring berjalanannya kemajuan zaman, banyak hal yang menjadi tantangan bagi kita para orang tua; dari perkembangan teknologi berupa gadget yang, barangkali, telah menjadi suatu kebutuhan, hingga perkembangan media sosial yang memengaruhi gaya bahasa anak. Sebagai orang tua, terkadang merasa lelah atau bahkan kewalahan. Itu wajar karena, lagi-lagi, generasinya berbeda.
Strategi konkret—sebagai tindak lanjut dari langkah awal di atas—yang bisa dilakukan atau kita usahakan untuk berkomunikasi dengan anak adalah “mendengarkan”. Ketika anak bercerita, kita dengarkan hingga dia merasa cukup atau selesai, lalu kita tanggapi sebagai respon dari proses mendengarkan. Sebagai orang tua, tugas kita adalah memberikan pengertian dan mengarahkan jika ada yang kurang baik dari sikap atau tindakannya, pun membekali mereka kemampuan menghadapi dan menindaklanjuti jika anak sudah berlaku baik namun mendapatkan perlakukan tidak baik dari orang lain. Tujuan utamanya adalah mencegah anak bercerita pada orang lain, sehingga orang tua atau keluarga akan menjadi opsi pertama baginya untuk berbagi cerita. Lebih jauh, mencegah anak terjerumus pada hal-hal yang memiliki dampak negatif. Komunikasi yang baik anatara orang tua dan anak berperan penting dalam menciptakan keluarga yang harmonis, menjamin ekosistem yang mendukung anak untuk dekat dengan orang tua sampai tumbuh dewasa, hingga peran orang tua dalam menentukan sekolah pilihan anak, dasar, menengah, sampai perguruan tinggi.
KH Bahaudin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha menyampaikan “Pandanglah anak-anak kita sebagai penerus sujud kepada Allah, penerus mentauhidkan Allah, penerus perjuangan agama Islam. Jika demikian, berapapun biaya yang kita keluarkan untuk anak pada hakikatnya kita membiayai agama Allah.” Dalam kesuksesan pendidikan anak, tidak hanya berkaitan dengan biayanya namun juga gerakan kita dalam mendidik anak-anak kita. Termasuk sikap sederhana kita dalam “mendengarkan”. Kita mulai dengan hal kecil atau hal sederhana, dibiasakan, insyaallah kita akan berhasil mendidik anak sesuai ajaran-ajaran agama kita juga budaya baik dari negara kita.