Senja di kota ini, bukan senja yang sama.
Bukan jingga yang memantul di jendela rumah,
bukan bau tanah basah setelah hujan reda.
Senja di sini, hanya siluet gedung tinggi
dan lampu-lampu yang mulai menyala.
Malam di kota ini, bukan malam yang sama.
Bukan hening yang ditemani suara jangkrik,
bukan angin malam yang membelai daun jambu.
Malam di sini, hanya deru mesin kendaraan
dan suara-suara yang tak kukenali.
Di kamar sewa berukuran empat kali lima,
aku menumpuk mimpi-mimpi dan rindu.
Setiap panggilan telepon dari rumah,
adalah remasan pelipur lara,
sekaligus penambah beban di pundak.
Kadang, aku bertanya pada diri sendiri:
Untuk apa semua ini?
Untuk siapa semua ini?
Jawaban tak kunjung tiba,
hanya setumpuk tugas yang menanti.
Tapi, kawan,
di balik lelah yang tak terkatakan,
di balik sepi yang tak terperikan,
ada secercah cahaya.
Mimpi-mimpi itu, perlahan mulai terwujud.
Ya, kota ini memang keras.
Tapi di sini, aku belajar menjadi kuat.
Di sini, aku belajar menjadi dewasa.
Di sini, aku belajar menjadi manusia.
Meskipun senja dan malam di kota ini
tak sama dengan di rumah,
aku akan terus berjalan,
hingga suatu hari,
aku bisa membawa senja dan malam yang sama,
kembali ke rumah.