Karya : Azalia Nanda Bahy
Siswi MA Unggulan Al-Imdad
Ada banyak orang yang bersikeras menghapus segala kenangan, membuangnya jauh dari ingatan, karena ingin melupakan. Tetapi, ada banyak pula orang yang kukuh mempertahankan kenangan bahkan dituliskannya sajak sajak pada tiap lembar ingatan dengan tinta keharuman agar tak hilang terbawa oleh arus zaman.
Hanya di kedai kopi inilah ia bisa menikmati secangkir kopi terbaik yang tentu saja disajikan dengan cara paling baik pula oleh baristanya. Seperti biasa, ia duduk di bangku favoritnya bangku paling sudut tempat paling nyaman baginya untuk membaca sajak-sajak sendu yang ia rindu.
Sambil menunggu pujaan hatinya datang, dibukanya buku usang yang telah lapuk dimakan usia. Bertemankan secangkir vanilla latte yang masih mengepul, dibacanya bait demi bait tersebut. Detik merajut menjadi menit, menit menyulam menjadi jam. Tapi, tak jemu-jemunya ia menjamu rindu pada sajak sendu yang tertulis rapi di atas lembaran buku yang berdebu. Tentang kisah masa lalu. Yang mengubah langit birunya menjadi bentangan kalbu.
Suatu hari, Bhaskara menyapa dengan malu. Seorang gadis kecil mengintipnya dari balik tirai kusam yang berdebu. Di luar, tampak seekor merpati putih yang bersenandung riang di atas tangkai pohon yang rindang. Sesekali gadis kecil itu harus berjinjit kesusahan demi melihat cantiknya sang merpati, hingga semilir angin sepoi yang berlalu lalang mengelus lembut poni kecilnya.
Usianya memang belum seberapa, tapi hidup sebatang kara dengan kakek neneknyalah yang membuatnya mau tak mau menjadi pribadi yang mandiri. Sembilan tahun silam, ayahnya meninggal ketika ia masih berada dalam kandungan. Sedangkan ibunya menghembuskan nafas terakhir beberapa jam setelah ia lahir.
“Nduk Renjani, sini, temani simbah minum kopi,”panggil sang kakek dari kejauhan.
“Nggih, Mbah.” Jawabnya semangat.
Gadis kecil pemilik nama Renjani itu dengan cepat duduk manis di samping kakeknya. Di atas meja, sudah tersaji secangkir kopi hitam, secangkir teh manis dan satu piring gorengan panas. Seperti biasa, kakeknya akan bercerita tentang kisah-kisah petuah yang membuat semangatnya kian meluah. Itulah rutinitasnya dengan sang kakek selama ini.
“Nduk, dengarkan kakek.” Ucap sang kakek mengawali percakapan pagi. “Kau masih ingat tentang kisah Raden Ajeng Kartini yang kakek ceritakan dulu?”
“Masih, kek.” Jawab Renjani disertai anggukan mantap.
Dengan seulas senyum, kakek berkata “Nduk Renjani, berjanjilah pada kakek, kau akan terus belajar sepanjang hidupmu. Jangan pernah berhenti, meski negeri ini memberi janji yang tak pasti. Kakek ingin kau seperti Kartini yang selalu tekun dan konsisten dalam menggapai cita-citamu kelak. Kakek juga ingin kau terus menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi Pertiwi ini, meski banyak rintangan yang harus kau hadapi.”
Waktu terus beranjak tanpa diminta. Meninggalkan kaum malas yang masih saja sibuk dengan gawainya. Hingga malam itu tiba. Malam yang mestinya Purnama, tapi langit begitu gulita. Seperti ada yang bergejolak dalam kegelapan. Bergulung-gulung awan hitam datang dari arah lautan, membawa gemuruh dan topan. Seharusnya tak ada kisah petuah di malam hari. Tapi entah mengapa malam itu kakek meminta Renjani datang ke kamarnya.
“Renjani, sini Nduk.” Lirih sang kakek sambil membenarkan posisi duduknya. “Malam ini, kakek akan bercerita tentang kisah seorang anak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil. Dahulu kala, anak itu ditelantarkan oleh orang tuanya di luasnya laut biru. Berhari-hari ia sendirian di sana. Hanya gelap, terik dan juga sepi yang menemani. Kau tahu Nduk, apa yang dilakukannya ketika ketakutan mulai menyerang?”
Renjani hanya menggeleng pelan, sambil menatap lekat manik mata kakeknya yang mulai meredup.
“Setiap detik, setiap jam, tak henti-hentinya ia berdoa kepada Tuhan. Mungkin saja, saat itu Tuhan mengabulkan doanya dengan mengutus malaikat untuk menjelma menjadi angin. Angin yang meniup pelan perahu kecil itu, hingga tertambat selamat di pesisir pantai.”
Kakek menghentikan kalimatnya sejenak. Mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan. Lantas melanjutkan ceritanya lagi.
“Nduk, ingatlah pesan Kakek ini. Dalam tiap gerimis kesedihan, hanyutkan dirimu dalam dzikir panjang malammu. Dalam tiap duka yang menyapa, hanyutkan air matamu dalam sungai kasih Nya. Dalam tiap nestapa, larutkan pahit air matamu dalam manis cinta-Nya. Dan dalam tiap kelabu langitmu, panggilah nama Nya, hingga dia mengubah mendungmu menjadi pelangi warna-warni. 1 “Lagi-lagi kakek mengatur nafasnya yang tak beraturan.” “Nduk, kakek ingin kau menjadi perempuan berhati kuat seperti namamu, Renjani.” Ucap kakek sambil mengeluarkan buku catatan bersampul biru dari balik bantal, lantas mengulurkannya ke Renjani dengan tangan gemetar.
Keheningan melanda beberapa menit ke depan. Tak terasa, pipi Renjani sudah dibasahi oleh bulir-bulir air matanya yang menetes tanpa permisi. Hingga tepukan lembut dari seseorang menyadarkannya dari lamunan panjang. Seseorang yang sedari tadi Renjani tunggu. Afkar, sang kekasih hatinya.
“Jani, maaf, telah membuatmu lama menunggu. ”
Cerpen ini dimuat di https://cakradunia.co/
Bionarasi :
Azalia Nanda Bahy, anak sulung dari 2 bersaudara yang lahir dihujan bulan Juni – seperti puisinya Bang Sapardi- ini bertempat tinggal di Panggungharjo Sewon Bantul. Ia merupakan seorang ilusionis yang senang berpetualangan di belantara imajiner dan mulai terjun didunia kepenulisan sejak berada di bangku MA. Sekarang kelas 11 di MA Unggulan Al Imdad.