Karya : Azalia Nanda Bahy

Siswi MA Unggulan Al-Imdad

Ada banyak orang yang bersikeras meng­hapus segala kenangan, mem­buangnya jauh dari ingatan, karena ingin melupakan. Tetapi, ada banyak pula orang yang kukuh mempertahankan ke­nang­an bahkan dituliskannya sajak sajak pada tiap lembar ingatan dengan tinta keha­rum­an agar tak hilang terbawa oleh arus zaman.

Cup Coffee Heart Latte Art Sketch Vector Illustration Isolated White Stock  Vector by ©exit.near.gmail.com 504848784

Hanya di kedai kopi inilah ia bisa me­nik­mati secangkir kopi terbaik yang tentu saja disajikan dengan cara paling baik pula oleh baristanya. Seperti biasa, ia duduk di bangku favoritnya bangku paling sudut tem­pat paling nyaman baginya untuk membaca sajak-sajak sendu yang ia rindu.

Sambil menunggu pujaan hatinya da­tang, dibukanya buku usang yang telah lapuk dimakan usia. Bertemankan secangkir va­nilla latte yang masih mengepul, dibacanya bait demi bait tersebut. Detik merajut men­ja­di menit, menit menyulam menjadi jam. Tapi, tak jemu-jemunya ia menjamu rindu pada sajak sendu yang tertulis rapi di atas lem­bar­an buku yang berdebu. Tentang kisah masa lalu. Yang mengubah langit birunya menjadi bentangan kalbu.

Grandfather drinking from a glass sitting on a chair Stock Vector by  ©Artex67 43675483

Suatu hari, Bhaskara menyapa de­ngan malu. Seorang gadis kecil mengin­tip­nya dari balik tirai kusam yang berdebu. Di luar, tampak seekor merpati putih yang berse­nan­dung riang di atas tangkai pohon yang rindang. Sesekali gadis kecil itu harus ber­jinjit kesusahan demi melihat cantiknya sang merpati, hingga semilir angin sepoi yang ber­lalu lalang mengelus lembut poni kecil­nya.

Usianya memang belum seberapa, tapi hidup sebatang kara dengan kakek neneknyalah yang membuatnya mau tak mau menjadi pribadi yang mandiri. Sembilan  tahun silam, ayahnya meninggal ketika ia masih berada dalam kandungan. Sedangkan ibunya menghembuskan nafas terakhir be­be­rapa jam setelah ia lahir.

“Nduk Renjani, sini, temani simbah minum kopi,”panggil sang kakek dari ke­jauh­an.

“Nggih, Mbah.” Jawabnya semangat.

Gadis kecil pemilik nama Renjani itu dengan cepat duduk manis di samping kakek­nya. Di atas meja, sudah tersaji se­cangkir kopi hitam, secangkir teh manis dan satu piring gorengan panas. Seperti biasa, kakeknya akan bercerita tentang kisah-kisah petuah yang membuat semangatnya kian meluah. Itulah rutinitasnya dengan sang kakek selama ini.

“Nduk, dengarkan kakek.” Ucap sang kakek mengawali percakapan pagi.  “Kau masih ingat tentang kisah Raden Ajeng Kartini yang kakek ceritakan dulu?”

“Masih, kek.” Jawab Renjani disertai anggukan mantap.

Dengan seulas senyum, kakek ber­kata “Nduk Renjani, berjanjilah pada kakek, kau akan terus belajar sepanjang hidupmu. Jangan pernah berhenti, meski negeri ini memberi janji yang tak pasti. Kakek ingin kau seperti Kartini yang selalu tekun dan kon­sis­ten dalam menggapai cita-citamu kelak. Kakek juga ingin kau terus menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi Pertiwi ini, meski banyak rintangan yang harus kau hadapi.”

Waktu terus beranjak tanpa diminta. Meninggalkan kaum malas yang masih saja sibuk dengan gawainya. Hingga malam itu tiba. Malam yang mestinya Purnama, tapi langit begitu gulita. Seperti ada yang ber­ge­jolak dalam kegelapan. Bergulung-gulung awan hitam datang dari arah lautan, mem­bawa gemuruh dan topan. Seharusnya tak ada kisah petuah di malam hari. Tapi entah mengapa malam itu kakek meminta Renjani datang ke kamarnya.

“Renjani, sini Nduk.” Lirih sang kakek sambil membenarkan posisi duduknya. “Malam ini, kakek akan bercerita tentang kisah seorang anak yang hidup terombang-ambing di atas perahu kecil. Dahulu kala, anak itu ditelantarkan oleh orang tuanya di luasnya laut biru. Berhari-hari ia sendirian di sana. Hanya gelap, terik dan juga sepi yang menemani. Kau tahu Nduk, apa yang dilaku­kan­nya ketika ketakutan mulai menyerang?”

Renjani hanya menggeleng pelan, sam­bil menatap lekat manik mata kakeknya yang mulai meredup.

“Setiap detik, setiap jam, tak henti-hentinya ia berdoa kepada Tuhan. Mungkin saja, saat itu Tuhan mengabulkan doanya dengan mengutus malaikat untuk menjelma menjadi angin. Angin yang meniup pelan perahu kecil itu, hingga tertambat selamat di pesisir pantai.”

Kakek menghentikan kalimatnya se­je­nak. Mengatur nafasnya yang mulai tak beraturan. Lantas melanjutkan ceritanya lagi.

“Nduk, ingatlah pesan Kakek ini. Da­lam tiap gerimis kesedihan, hanyutkan diri­mu dalam dzikir panjang malammu. Dalam tiap duka yang menyapa, hanyutkan air mata­mu dalam sungai kasih Nya. Dalam tiap nestapa, larutkan pahit air matamu dalam manis cinta-Nya. Dan dalam tiap kelabu langit­mu, panggilah nama Nya, hingga dia me­ng­ubah mendungmu menjadi pelangi war­na-warni. 1 “Lagi-lagi kakek mengatur nafasnya yang tak beraturan.” “Nduk, kakek ingin kau menjadi perempuan berhati kuat seperti namamu, Renjani.” Ucap kakek sambil mengeluarkan buku catatan bersam­pul biru dari balik bantal, lantas mengulur­kannya ke Renjani dengan tangan gemetar.

Keheningan melanda beberapa menit ke depan. Tak terasa, pipi Renjani sudah di­ba­sahi oleh bulir-bulir air matanya yang menetes tanpa permisi. Hingga tepukan lembut dari seseorang menyadarkannya dari lamunan panjang. Seseorang yang se­dari tadi Renjani tunggu. Afkar, sang kekasih hatinya.

“Jani, maaf, telah membuatmu lama menunggu. ”

 

Cerpen ini dimuat di https://cakradunia.co/

Bionarasi :

Azalia Nanda Bahy, anak sulung dari 2 bersaudara yang lahir dihujan bulan Juni – seperti puisinya Bang Sapardi- ini bertempat tinggal di Panggungharjo Sewon Bantul. Ia meru­pa­kan seorang ilusionis yang senang berpetualangan di belantara imajiner dan mulai terjun didunia kepenulisan sejak berada di bangku MA. Sekarang kelas  11 di MA Unggulan Al Imdad.

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *