“Mbak, hari ini saya mau pembelajaran di Ruang Audiovisual Perpustakaan, tolong siapkan video pembelajaran yang kemarin ya!” perintah salah seorang guru. “Baik, Pak,” jawab Rani sesegera mungkin. Sudah jadi rutinitas Rani, selesai menyiapkan presensi pengunjung perpustakaan, display surat kabar dan buku-buku baru, termasuk juga pelayanan pembelajaran di perpustakaan. Hari itu pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dengan pengampu mata pelajaran yang sudah sepuh, sehingga Rani membantu menyiapkan video pembelajaran termasuk pengoperasian TV. Alhamdulillah semua lancar meskipun di akhir pembelajaran ada yang aneh menurutnya.
“Terimakasih ya Mbak sudah dibantu,” ucap guru itu usai dibantu Rani. “Njih, sama-sama Pak,” jawab Rani dengan sopan. Bukan hanya siswa, guru pun sering berkunjung di perpustakaan sekolah, tidak hanya di waktu istirahat, di sela-sela jam kosong juga ada yang berkunjung. Rani mendengar suara perempuan tertawa-tawa kecil, tapi tidak melihat siapa pun di perpustakaan selain pustakawan senior yang duduk di mejanya. Tanpa ditanya Mbak Retno menunjuk kearah belakang rak buku dan memberi kode lirih, “Bu Margareth,” bisiknya. “Oh… Oke Mbak,” jawab singkat Rani yang langsung paham.
Perpustakaan sekolah tempat magang Rani mempunyai program Gemar Baca, di mana setiap hari Senin dan Kamis buka sampai sore, melayani siswa yang ingin belajar di perpustakaan selain jam sekolah. Membangun suasana semangat, sore itu di perpustakaan, Rani mengganti play musik yang tidak bisanya, dengan judul “Nagging” yang dinyanyikan duet antara IU dan 2AM Seulong, untuk menemaninya menata dan mengembalikan buku-buku di rak.
Pukul 06.50 WIB Rani membuka pintu perpustakaan, semangat sekali hari ini pakai seragam kantor, flat shoes baru dengan bunga mekar di ujungnya. Yaa.. Rani adalah karyawan baru di sekolahnya. Setelah selesai melayani peminjaman buku paket, datang lima siswa dengan seorang bapak guru yang akan meremidi ujian agama di perpustakaan. “Silakan koleksi keagamaan di rak kode dua ratus, sebelah sini,” Rani mengarahkan siswa yang dari tadi terlihat mencari-cari buku. Mereka berdiskusi dan sesekali bertanya kepada gurunya. Rani kaget melihat hal yang tidak seharusnya dilakukan seorang guru pada siswinya, ya di depan matanya sang guru memegang punggung dan menarik tali di bawah seragam salah satu siswi. Reflek Rani mendekat dan teriak, “Pak!!” anehnya Mbak Retno partnernya di situ malah tertawa. Dilanjutkan sang guru ikut tertawa enteng lalu berucap, “Wis koyo anaku dewe Mbak.” Astaghfirullah, siswa itu juga tampak santai, seolah kejadian tersebut sudah biasa.
Jam pulang sekolah sebentar lagi, Mbak Retno dan Rani mulai menutup gorden ruang perpustakaan. “Ran, ga usah kaget, pak guru tadi memang gitu orangnya, kalau kamu diminta ngajarin komputer kayak kemarin jangan dekat-dekat,” Mbak Retno menasihati. Rani mengangguk paham.
Perpustakaan ini sangat nyaman bagi Rani. Tapi setelah setahun dua tahun di sana, feelingnya selama ini memang terbukti, Bu Margareth yang diam-diam sering telpon tertawa-tawa kecil di pojok ruang perpus dikabarkan sedang mengurus perceraian dengan suaminya, karena ada PIL (pria idaman lain). Guru sepuh yang sering Rani bantu untuk pembelajaran di Ruang Audiovisual sebentar lagi purna tugas, keanehan beliau menurut Rani karena saat menutup pelajaran, anak-anak diajarkan doa khusus untuk suami istri. Entahlah, meskipun saat ditanya Rani, jawaban guru sepuh itu sebagai bekal, karena di sekolah ini menurutnya banyak siswa yang tidak akan melanjutkan ke perguruan tinggi tapi lanjut ke KUA, karena perekonomian siswa di sini cenderung menengah ke bawah. Dan, akhirnya kepala sekolah menegur guru yang melecehkan siswa melalui laporan dari guru-guru lain.
Rani berhasil menyelesaikan program digitalisasi perpus sekolah ini, perpustakaan semakin menjadi tempat favorit siswa, selain tersedianya komputer dan akses internet untuk siswa, banyak tabloid remaja yang selalu update untuk dibaca. Suatu hari Rani memberanikan diri menghadap kepala sekolah bermaksud izin melanjutkan studi, rencananya ambil kelas weekend setiap Sabtu dan Ahad, jadi tidak akan mengganggu kerja di sekolah. “Ndak usah Mbak, lanjut studi itu kalau kamu mau kerja di perguruan tinggi, itu pun jika kamu punya kemampuan.” Rani mencerna jawaban kepala sekolah, tapi hatinya tetap mantap bahwa melanjutkan studi akan menambah pengetahuannya, srawung dengan orang-orang pintar pasti berdampak baik juga untuk dirinya.
Lembur Kamis sore, Rani ditemani hujan dan “Never Let You Go” dari 2AM. Pelabelan dan pemindahan buku-buku lama ke gudang, ingin segera diselesaikannya. Tiba-tiba terdngar sapaan, “Assalamu’alaikum, maaf saya Gani saudara Pak Andre.” Rani terkejut. Seketika dia ingat Pak Andre memang ingin mengenalkanya dengan saudaranya yang kerja di pertambangan batu bara, tak disangka dia ke sekolah karena memang besok sudah selesai cutinya. Rani mempersilahkan duduk di perpustakaan, ditemani Mbak Retno dan Pak Andre di sana. Beberapa saat ngobrol akhirnya Gani pamit.
“Mbak, mau pinjam kumpulan soal ujian ada?” tanya seorang siswa. “Tentu saja, silakan.” Pagi ini Rani membaca beberapa halaman koran yang sudah dia stempel milik sekolah. Mbak Retno yang biasanya mengajak bicara santai, kali ini terasa kurang enak bagi Rani. “Ran, lagu yang di list perpus jangan diganti-ganti, itu saja. Lagu yang kemarin gak usah diputar lagi. Sama kalau ada tamu pribadi, jangan dibawa kesini!” Deg! Rani kaget sekaligus menyadari ini memang kesalahanya.
Perubahan sikap Mbak Retno disadari Rani, beberapa kali Mbak Retno tampak sering ke kantor kepala sekolah dan kembali tanpa ada kata yang disampaikan pada Rani. Makanan yang kadang Rani bawa khusus disiapkan untuk Mbak Retno pun dijawab “Sorry lagi diet, saya kasih anak-anak saja ya nanti istirahat.”
Rani mulai instrospeksi dan memantapkan diri, meskipun Gani bukan siapa-siapanya, hanya teman yang mau dikenalkan padanya, tidak lebih, memang saat itu bukan Rani yang memanggil ke perpustakaan, tapi tetap tidak pas kondisinya. Semakin ke sini sikapnya di kantor terasa serba salah, saat membaca koranpun dikomentari “Saatnya kerja ya jangan enak-enakan baca, kita di sini kerja lho.”
Tak lama Rani paham kenapa sikap mbak Retno seperti itu, dia tidak suka dengan rencana studi lanjutnya. Bagi Mbak Retno tidak akan jadi dualisme itu, kalau mau kuliah ya jangan kerja di sini. Hal ini langsung disampaikan Mbak Retno ke Rani. Pamit, Rani menyampaikan maksudnya secara baik-baik ke Mbak Retno dan kepala sekolah, berikut surat pengunduran dirinya.
Beberapa waktu kemudian, lamaran kerja Rani diterima suatu sekolah. Rani mengambil sepatunya dari tas plastik dan memakainya setelah melepas jas hujan lalu meletakkan di atas motornya. Saat hendak menuju kantor, dia kaget. Di belakangnya ada seseorang remaja berpeci, tersenyum membawa sepiring nasi tanpa sayur dengan kerupuk yang mulai lembek terkena tetesan tampon air hujan, dia menunggu Rani lewat terlebih dahulu. Menyadari kesalahanya, Rani segera minta maaf, “Silakan.” Santri itu mengangguk dan tersenyum, jalan menunduk santun.