Hiduplah seorang perempuan yang berasal dari salah satu keluarga sederhana, bahkan beliau tidak pernah melihat bapaknya karena sejak lahir bapaknya sudah meninggal dunia. Dia adalah Tun seorang perempuan yang hidup bersama ibunya. Tun anak yang penurut sama ibunya.
Tun pernah menanyakan tentang bapaknya pada ibunya, “Bagaimana sosok bapak pada waktu masih hidup, Bu?” dengan muka yang sedih. “Bapak kamu adalah seorang yang sangat bertanggung jawab, rajin, dan penyayang sama ibu. Pada waktu itu bapak sedang ke sawah untuk melihat kondisi sawahnya dan membersihkan rumput-rumput yang menganggu tanaman padinya. Bapak berangkat dari rumah menggunakan sepeda ontel karena zaman dulu belum ada orang yang menggunakan sepeda motor, paling hanya ada satu atau dua orang yang punya, itupun cuma orang-orang kaya yang bisa membeli motor. Dulu bapak meninggal karena kecelakaan sebelum kamu lahir di dunia,” tutur ibu yang menceritakan panjang lebar tentang bapaknya.
Akhirnya Tun bernafas lega setelah mendengarkan cerita ibunya walapun sebenarnya dia masih merasa sedih karena tidak pernah tahu bagaimana wajah bapaknya dan seperti apa sosok bapaknya. Sambil dia berdoa, “Ya Allah ampunilah dosa-dosa bapak saya dan semoga meninggalnya bapak husnul khotimah. Aamiin…”
Suatu ketika ibunya menikah lagi sehingga Tun sangat bahagia karena akan memiliki seorang bapak. Tidak lama kemudian datanglah saudara ibu yang sangat sayang dengan Tun. Beliau sudah menganggap Tun sebagai anak sendiri dan Tun juga sangat nyaman dengan beliau. Karena saudara ibu telah lama belum punya anak, akhirnya ibunya mengizinkan Tun untuk tinggal bersama saudaranya. Semua biaya sekolah dan kehidupan Tun mulai ditanggung saudara ibu. Hingga Tun merasakan kenyamanan tinggal bersama dan menganggap saudara ibu seperti ibunya sendiri. Tun juga sudah memanggilnya dengan sebutan Ibu, tetapi Tun juga tidak melupakan ibu kandungnya yang sudah melahirkan dia dan sudah pernah mendidik dia sebelumnya.
Tun masih sering mengunjungi ibu kandungnya yang sudah hidup bersama suami barunya. Ternyata Tun sering diam-diam mengunjungi ibu kandung tanpa sepengetahuan ibu angkatnya. Dia selalu mencari waktu luang untuk bertemu dengan ibu kandungnya karena tidak diperbolehkan ibu angkatnya. Tetapi Tun tetap menghormati ibu angkatnya juga karena dia sudah menganggap sebagai orang tuanya. Keluarga ibu angkatnya adalah keluarga yang terpandang dan kaya, jadi Tun selalu terpenuhi kehidupannya apapun yang dia mau selalu ada, bahkan kakeknya sayang banget dengan Tun.
Beberapa tahun sudah berlalu, Tun sangat bahagia dengan keluarga barunya tetapi tidak melupakan ibu kandungnya juga. Pada waktu itu Tun sudah berusia 9 tahun. Pada zaman dulu anak laki-laki usia 9 tahun harus sudah bertanggung jawab dengan keluarganya. Dikarenakan Tun adalah seorang perempuan, jadi Tun dijodohkan dengan seorang pemuda yang baru saja lulus Sekolah Rakyat (SR). Pemuda tersebut adalah seorang buruh yang sangat dipercaya oleh kakeknya. Karena pemuda itu sangat rajin, pandai, dan tekun akhirnya membuat kakeknya sangat tertarik untuk menjodohkan dengan Tun.
Bahkan Tun tidak tahu perjodohan itu karena masih kecil jadi Tun tidak memikirkan perjodohan, tahu-tahu langsung dinikahkan dengan pemuda yang bernama Zin. Jadi pernikahan ini adalah pernikahan yang masih sangat muda. Bahkan masih anak-anak yang belum begitu dewasa untuk melakukan pernikahan. Tapi karena orang zaman dulu sudah terbiasa dengan hal itu maka diperbolehkan.
Tun tidak ada penolakan sedikitpun dalam pernikahan ini, dia hanya menuruti kata orang tuanya karena apa kata mereka pasti yang terbaik. Setelah pernikahan berjalan beberapa bulan Tun menjalani aktifitas dengan biasanya sedangkan Zin melakukan kewajibannya sebagai suami untuk mencari nafkah pada umumnya, dikarenakan Tun masih anak-anak jadi yang mempersiapkan keperluan suaminya adalah ibunya, seperti mempersiapkan masak, makan, dan lain sebagainya karena memang Tun belum begitu dewasa jadi kadang pikirannya hanya sekolah dan main. Semua harus diingatkan ibunya dan diajari terlebih dahulu, tapi setelah beberapa tahun kemudian Tun mulai terbiasa untuk melayani suaminya.
Teman-teman sekolah Tun selalu memanggil dengan panggilan pengantin baru, bahkan kalau mau berangkat sekolah teman-temannya mampir untuk berangkat bareng, di rumahnya selalu diteriaki pengantin baru terus-terusan, sehingga membuat Tun malu dan minder ketemu teman sekolahnya.
Akhirnya Tun tidak mau lagi berangkat sekolah karena malu ketemu teman dan gurunya. Ibunya sudah berusaha membujuk untuk tetap berangkat sekolah, tapi akhirnya Tun berhenti dan tidak melanjutkan sekolahnya. Sehingga hanya di rumah bermain dan mengurus suaminya. Tun sangat disayang ibu angkatnya kalau mau keluar kemana-mana harus izin dulu. Bahkan untuk ngaji setelah magrib pun harus izin dulu karena memang zaman dulu perempuan sangat dijaga jika mau keluar ke mana-mana. Tetapi kalau Tun tidak diperbolehkan dia langsung pergi tanpa pamitan.
Tun dalam menjalankan rumah tangganya sudah mulai mengikuti perintah suaminya yang kadang diajak ke rumah mertuanya dan belajar untuk membantu memasak dan beres-beres rumahnya. Suatu ketika Tun diperintah mertuanya untuk mengambil air di musala menggunakan kendi, saat membawa air dari musala sampai ke rumahnya ternyata air tumpah-tumpah sampai baju Tun basah dan airpun sampai rumah habis. Mertuanya langsung ketawa melihat tinggkah Tun karena Tun belum tahu trik bagaimana membawa kendi yang benar supaya airnya tidak tumpah.
Setelah sekian lama pernikahan Tun berjalan dengan bahagia walaupun perantara perjodohan orang tua. Sekarang Tun mempunyai sembilan anak. Jarak anak Tun tiga tahun dan bahkan ada yang dua tahun. Tun adalah sosok yang sangat hebat dalam menjalani rumah tangganya dengan mempunyai sembilan anak dan bisa membagi aktifitasnya sebagai ibu dan istri untuk membantu suaminya mengelola sawah orang tuanya.
Sudah banyak lika-liku yang dihadapi Tun dalam rumah tangganya dari hal yang sederhana sampai hal yang beratpun Tun hadapi. Bahkan sampai orang tuanya meninggalpun Tun masih dihadapkan dengan masalah saudaranya yang memperebutkan harta warisan dan sampai akhirnya Tun mengalah untuk tidak meminta harta warisannya demi mempertahankan persaudaraan.
Tun selalu mengalah dengan saudaranya. Apapun yang Tun dapatkan, dia terima asalkan tidak bertengakar dengan saudaranya, bahkan jika dimarahi suaminya Tun juga hanya diam dan tidak membantah. Dia adalah istri yang sholehah tidak pernah membantah di depan suaminya jika dia tidak setuju atau tidak sependapat dengan suaminya hanya dia pendam sendiri dan hanya bisa nangis di belakang.
Tun sangat sayang sama anak-anaknya. Mereka sangat dimanjakan sama Tun, tidak pernah Tun membentak anaknya kalau anaknya salah. Tun memberi tahu dengan menasihatinya baik-baik. Tetapi suami Tun sangat tegas dan kadang galak sama anak-anaknya sehingga anaknya selalu takut sama bapaknya jika melakukan kesalahan. Tun sebagai ibu selalu melindunginya supanya anaknya tidak kena marah, tapi Tun yang selalu kena imbasnya dimarahi sama suaminya. Tun selalu bersabar jika suaminya marah-marah dalam hal apapun dan Tun masih tetap melayani suaminya walaupun sering dimarahi. Anak-anak Tun masih tetap diutamakan dalam pendidikan dan agamanya. Tun selalu sibuk setiap harinya untuk mempersiapkan segala keperluan anaknya untuk sekolah dan mempersiapkan kebutuhan suaminya untuk mengelola sawah dan pekerjaan suaminya. Tun tidak pernah mengeluh lelah sama sekali sampai akhirnya, bertahun-tahun dia jalani anaknya semuanya sukses dan bisa membawa nama baik orang tuanya, walaupun Tun tidak tamat sekolah tapi semua anaknya berpendidikan tinggi.
Sampai tuapun Tun masih kuat walaupun sebenarnya yang dirasakan adalah sakit lututnya. Kesakitan ini disebabkan karena dulu waktu masih muda dia sangat sibuk mengurusi anaknya dan membantu pekerjaan suaminya, bahkan setelah melahirkan dia masih kuat untuk beraktivitas seperti sediakala. Maka dari itu setelah sepuh yang dirasa lututnya linu dan kesakitan.
Sampai akhirnya semua anaknya sudah menikah dan bahkan dari sembilan anak itu tidak ada yang tinggal satu rumah dengan Tun karena dibawa oleh pasangan masing-masih dan hanya ada satu anak yang tinggal bersebelahan dengan Tun.
Pada akhir tuanya, Tun hanya hidup berdua dengan suaminya, karena semua anak ikut pasangannya masing-masing. Meski begitu, anaknya tetap rajin mengunjungi Tun ke rumahnya untuk menjenguk orang tua. Dari kesabaran Tun menghadapi hidupnya semua anaknya berhasil sukses dalam pendidikannya, karena Tun tidak mau anaknya mengalami hal seperti dirinya yang tidak sekolah dan berhenti sekolah ditengah-tengah karena malu. Akhirnya Tun merasa lega karena bisa melihat anak-anaknya yang berhasil dan sukses.