Di ruang kelas ini,
waktu tak pernah terasa sama.
Lima menit ujian terasa sejam,
sementara satu jam diskusi bisa hilang begitu saja—
apalagi kalau topiknya mulai bergeser ke “kenapa tugas belum dikumpulkan”.
Mungkin Einstein benar—
bahwa waktu bisa melar,
tergantung siapa yang merasakannya
dan bagaimana hatinya berdetak—
atau berdebar, karena belum belajar.
Di papan tulis, aku menjelaskan ruang dan waktu,
tapi di balik itu,
aku mengamati mereka—
wajah-wajah muda yang tak selalu paham,
tapi ahli pura-pura manggut saat aku menatap tajam.
Mereka duduk dalam garis lurus,
tapi pikirannya melengkung ke mana-mana.
Entah ke soal, ke rumah, ke cinta pertama,
atau “jajanan di kantin masih ada gak ya?”.
Dan aku pun belajar,
bahwa tak semua hal bisa dihitung,
bahwa kecepatan belajar tak pernah konstan,
dan bahwa gravitasi rindu bisa lebih kuat dari medan gaya—
terutama kalau rindu libur panjang.
Ruang kelas ini kecil,
namun menjadi semesta yang tak terbatas.
Di sini, waktu bergerak menurut hatiku juga—
kadang cepat saat mereka tertawa,
kadang lambat saat mereka… mulai menguap dan terlelap.
Relativitas, akhirnya,
bukan hanya teori—
tapi kenyataan sehari-hari
bagi seorang guru
yang mencoba memahami semesta
dari balik jendela kelas sederhana—
dan sesekali bertanya,
“Apakah kopi bisa dianggap energi potensial?”