Hayat, ibu guru muda itu berdiri di luar kelas. Suasana riuh oleh tawa dan celoteh para siswa ditingkahi orkestra “musik meja” yang terdengar menggempar. Ia sengaja berhenti di sisi samping kelas. Telinganya begitu peka dengan musik, sama dengan hatinya yang begitu mudah tersentuh oleh nyanyian. Tak terdengar nada. Hanya bunyi ritmis mengiring yang mengantarkan ingatannya pada sebuah lagu dangdut: kupuisikan namamu, kusimpan jadi nyanyian…. Ketukan jemari para siswa terdengar kompak berbagi tugas. Andai saja ia tidak sadar kalau sedang berdiri di depan kelas sebagai seorang guru, mungkin tubuhnya akan bergerak patah-patah atau meliuk-liuk bagai ular mendengar seruling, atau bahkan menari balet tanpa kaki berjinjit. Ah itulah musik, kuat mengikat seperti sihir.
Beberapa detik kemudian ia bergeser ke depan pintu. Masih di depan ambang pintu luar. Tetapi bayangan tubuhnya sudah tertangkap oleh mata para siswa yang tak sengaja menoleh ke arah pintu. Melihat kedatangan gurunya, beberapa anak melakukan perubahan formasi. Berhamburan seperti laron sehabis hujan mereda. Sebagian kembali ke tempat duduknya ketika ada temannya yang berteriak lirih, “Bu guru hadir, bu guru hadir!” katanya. Suasana menjadi senyap dari celoteh.
Tapi dasar anak-anak badung, Totto-Chan lokal yang kerap membuat kesal gurunya. Satu kelompok band “musik meja” itu masih melanjutkan lagu yang belum selesai ditembangkan. Mata Hayat menghunjam tajam ke arah mereka. Melihat respon gurunya, salah satu dari mereka memicingkan mata. Tanpa ada suara aba-aba, mereka kompak mengubah irama ketukan diiringi suara mereka yang senandungkan lagu “17 Agustus ‘45”. Sontak siswa seisi kelas tertawa dan turut bernyanyi.
Hati Hayat kesal tapi ia tersenyum kecut demi menutupi rasa malu. Andai bisa ia simpan wajahnya di dalam tas ranselnya.
“Rojiiiiim, Rian, Rohmat, hentikan musiknya!” teriakan Hayat hampir tenggelam oleh suara koor nyanyian dan musik meja. Ia memukul papan tulis dengan penggaris kayu besar. Para murid tersentak. Musik berhenti.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Anak-anak, kita tidak bisa berlama-lama di dalam kelas. Seperti rencana pembelajaran yang ibu sampaikan pada pertemuan sebelumnya. Kita akan ke mana?”
“Huda Florist,” teriak mereka kompak. Huda Florist, sebuah toko penjual aneka tanaman yang letaknya tepat di seberang sekolah.
“Wah, tidak seru Bu Guru. Kemarin kita sudah ke Huda Florist untuk meneliti tanaman-tanaman yang ada di sana,” protes Bambang.
“Benar Bu Guru, cari tempat yang lain saja untuk praktek Bab Negosiasi ini, bagaimana Bu?” ucap Nala.
“Saya setuju dengan teman-teman, Bu Guru. Lebih dari separuh kelas ini sudah membuat Teks Laporan Hasil Observasi di tempat itu. Sudah hapal. Sudah tidak menarik lagi!” kritik Dana.
“Kita ke pasar saja, Bu!” usul Rian.
“Hush!” potong Rojim tiba-tiba. Rian terlihat kaget. Kali ini, mereka berbeda pendapat.
“Jarak ke pasar cukup jauh. Waktu kita hanya 4 Jam Pelajaran. Tidak cukup! Kalian masih harus meneruskan pelajaran pada jam-jam selanjutnya,” Hayat merasionalisasi alasannya memilih pada Huda Florist.
“Huuuuuu…,” suara koor kekecewaan menggelegar.
“Kita tidak jadi saja, Bu!” teriak Rian yang tetiba berdiri. Tapi langkahnya terhenti karena secepat kilat, gelegar suara Rodjim menguasai ruang kelas itu.
“Saya setuju dengan Bu Guru,” tiba-tiba suara Rojim meninggi dan keras, semua kepala menoleh pada Rodjim, Rojim berdiri, “saya dukung Bu Guru 100% kalau perlu 1000%,” ucap Rojim berapi-api sambil mengepalkan tangannya sebagai tanda dukungannya. Wajahnya terlihat sangat serius tapi tersenyum manis ke arah Hayat.
“Huuuuu…,” koor teman-temannya.
Hati Hayat jadi terharu. Anak yang selama ini ia anggap sebagai anak paling badung, si Totto Chan lokal yang suka mengacaukan suasana itu tiba-tiba membelanya. Sementara, bahkan, anak-anak andalannya selama ini hanya terdiam tak membela.
“Terima kasih, Rojim. Ibu bangga padamu. Kamu kemarin meneliti apa untuk tugas Teks Laporan Hasil Observasi?” Pipi Hayat merona begitu merah. Ia meniupkan udara ke ujung jilbab hitamnya tanda kelegaan.
“Laba-laba, Bu, si sahabat petani. Sahabat Huda Florist juga berarti ya Bu!” ucap Rodjim mantap tetap dengan senyum manis yang tidak pudar dari kulit wajahnya yang sawo matang.
“Ohhh, betul, betul, betul,” Hayat tersenyum tipis tapi sesungguhnya hatinya bergidik. Merinding. Bulu kuduknya berdiri. Hewan satu itu hewan yang begitu menakutkan bagi Hayat. Hayat mencoba menghindari apapun yang terkait dengan laba-laba. Bahkan mengeja kata “laba-laba” saja sudah membuatnya ketakutan. Ibunya pernah mencoba menerapi ketakutan Hayat dengan menyarankan agar tidak terlalu takut pada laba-laba. Bahkan ibunya juga menakut-nakuti, jikalau Hayat terlalu takut pada sesuatu, seperti laba-laba, nanti di alam kubur, jika banyak dosanya maka teman kuburnya adalah laba-laba raksasa yang menakutkan.
Dejavu. Hayat melonjak sendirian. Sementara sebagian siswa yang memergoki aksi gurunya, terpaksa menahan tawa agar Hayat tak tersinggung atau semakin ketakutan.
“Ayo teman-teman, kita ke Huda Florist sekarang juga!” ajak Rojim bersemangat ’45. Seluruh siswa keluar kelas menuju Huda Florist. Kali ini mata Hayat berkaca-kaca. Tak kuat menahan rasa haru.
Di toko tanaman yang berukuran hampir 500 meter persegi itu, aneka tanaman terhampar hijau. Aneka pohon besar menjulang ke langit. Anak-anak berkelompok melakukan negosiasi sesuai panduan lembar kerja yang telah dibagi Hayat. Beberapa kelompok bahkan membeli tanaman untuk dibawa pulang. Tugas negosiasi telah selesai. Waktu pelajaran yang disambung dengan jam istirahat hampir habis.
“Mari kita kembali ke sekolah. Istirahat sebentar dan kembali masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya,” ucap Hayat, “apa semuanya berjalan lancar?” Tanya Hayat.
“Lancar Bu!” koor para siswa.
“Bu Guru, suka pohon mawar ‘kan? Ini dari kami buat Ibu, tolong diterima ya Bu,” ucap Rojim dengan nada begitu halus dan malu-malu. Tangannya membawa pohon mawar setinggi 1 meter. Daunnya lebat. Bunganya banyak dan berwarna merah muda. Kesegaran nan wangi tercium hidung Hayat.
“Oh tidak perlu, Rojim,” tolak Hayat. Mukanya bersemu merah.
“Tolong jangan ditolak dan jangan dinilai harganya yang tidak seberapa ini ya Bu!” pinta Rojim.
“Terima, terima, terima….” Koor suara siswa. Hayat terkesima. Setulus itu para siswanya menghargai gurunya, terutama anak yang namanya sangat tidak umum itu. Anak yang biasanya membaut gara-gara di sekolah kini menjadi siswa yang sangat perhatian kepadanya.
Hati Hayat benar-benar tersentuh. Ia pun mengulurkan tangannya menerima sepohon mawar yang indah itu. Diputarnya perlahan pohon yang tak terlampau berat itu. Hati-hati ia memutar searah jarum jam agar tak terkena duri tajam pohon mawar. Tepat di putaran angka 12, mata Hayat melotot. Sebuah laba-laba besar tepat berada di depan mukanya. Laba-laba yang menempel pada bunga mawar itu terkejut melihat mata Hayat dan guncangan tangan Hayat yang ketakutan. Ia segera berlarian di dalam pohon mawar yang masih tergenggam di tangan Hayat.
Kesadaran yang terlambat untuk melepaskan pohon mawar dari genggamannya, sebab rasa takut, membuat jantung Hayat terasa lepas seketika. Ia berteriak histeris dan melemparkan pohon mawar. Guru itu mengibas-ibaskan tangan ke jilbab dan tubuhnya. Begitu khawatir jika laba-laba itu menggigitnya.
“Astaghfirullah. A’uudzu billaahi minas-syaithoonir rojiim. Dasar nama terkutuk. Besok, kamu harus ganti nama!”